Pendapatan Negara
: Pajak Penghasilan
Pajak
penghasilan merupakan pendapatan Negara.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan
bisa diberlakukan progresif, proporsional,
atau regresif.
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks)
pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap
mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan.
Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan
antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa,
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada
uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak
yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882
hingga 1916 dikenal adanya Poll
Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan
tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang
diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha
bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan
pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak,
penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional
dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920
dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada,
dihilangkan dengan diperkenalkannya General
income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk
pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini
telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya
perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925
ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang
dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak
Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan
1944,
Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih
dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970
dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs
1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak
(tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak,
Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan
1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul
kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932,
No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas
pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan
penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya
di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber
dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia,
maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan
muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting)
yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting
(Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti
dengan nama Overgangsbelasting
(Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak
Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan
sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan
terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944,
Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan
"UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970
yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak
di Indonesia.
·
Pajak penghasilan
diatur dalam Undang-Undang
Menurut Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai
berikut:
- Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
- Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
- pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Dan menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk
obyek pajak sebagai berikut:
- Badan perwakilan negara asing.
- Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
- Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
- Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
·
Objek pajak
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan
Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam
Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya,
penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak
suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi
Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun
demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang
bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut
tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.